CYBERKRIMINAL.COM, MAKASSAR - Kontestasi Politik pemilihan Kepala Daerah Calon Gubernur/Wakil Gubernur, Calon Walikota/Walikota dan Calon Bupati/Wakil Bupati se-Indonesia sudah di depan mata. Namun, negara kita semakin memprihatinkan dengan makin populernya fenomena serangan fajar baik dilakukan secara massif bahkan sampai terang-terangan.
Terbukti, sudah ada beberapa temuan berupa foto, rekaman dan video berseliweran serta pengaduan masyarakat maupun pengaduan dari Paslon yang dirugikan akibat gencarnya serangan fajar atau money politik di tengah masyarakat.
LSM PERAK Indonesia salah satu lembaga yang aktif menyoroti pelanggaran pemilu di beberapa tahun terakhir ini sangat menyayangkan fenomena memprihatinkan kondisi keterpurukan politik kita di tengah masyarakat.
"Miris kami melihatnya, kami coba pantau ternyata malah kondisi sekarang lebih parah. Sudah sampai terang-terangan tim Paslon diduga Money politik," ungkap Adiarsa MJ, SE, SH, MH Ketua LSM PERAK Indonesia saat diwawancarai oleh wartawan, Senin (25/11/24).
Adiarsa juga melihat ada peran masing-masing pihak berwenang yang tidak sampai ke masyarakat.
"Baik dari Pemerintah, TNI, Polri, penyelenggara Pemilu kami lihat perannya hanya sebagai tim penggembira saja dalam hajatan pemilu kemarin dan pilkada tahun ini," ujar pria yang berprofesi sebagai Advokat ini.
Adiarsa juga menyampaikan, jika ketentuan sanksi politik uang pada pemilihan Pasal 187A UU Nomor 10 Tahun 2016 berpengaruh dan tidak bisa dijadikan cambuk penegakan efek jera kepada pelaku di masyarakat yang seakan cuma diabaikan.
"(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)," terangnya.
Lanjut Adiarsa, jangan tutup masa depan anak kita dengan serangan fajar.
"Kalau kita biarkan seperti ini terus maka kasihan regenerasi kita karena haruspi punya uang banyak baru bisa jadi Kepala Daerah, DPR dan tentunya akan berimbas juga di kehidupan dan mata pencaharian yang lain akibat dari kebijakan orang yang terpilih hasil dari politik uang," bebernya.
Lebih jauh Ia mengatakan, jika perlu dibenahi dari atas (pusat), salah satunya proses rekrutmen penyelenggara Pemilu.
"Selama masih ada dugaan titipan dari partai atau ormas besar di pusat saya rasa sampai di tingkat paling bawah juga akan membawa kepentingannya. Jadi inilah lucunya negeri kita," kata penggiat LSM anti korupsi ini.
Jadi menurutnya, KPK, Polri dan Kejaksaan kedepannya harus terlibat dalam mengawasi proses rekrutmen penyelenggara Pemilu karena ini sangat mempengaruhi regenerasi bangsa kita.
"Jelas dugaan kolusi atau KKN dalam proses rekrutmen tersebut. Bayangkan kalau dari atas partai dan Ormas titip orangnya sampai di bawah. Inilah pondasi utama yang harus kita restorasi," tegasnya.
Diketahui LSM PERAK Indonesia sudah terlibat sebagai pemantau pemilu pada perhelatan pemilu 2019 dan 2024.
(*)